Translate

Sabtu, 12 Mei 2012

Misteri Penemuan Piramida Di Gunung Lalakon Bandung

Beberapa orang meyakini telah ditemukan sebuah piramida di kawasan Gunung Lalakon, Bandung, Jawa-Barat dan Gunung Saduhurip, Garut, Jawa-Barat. Penemuan itu dikaitkan dengan penemuan atlantis di Nusantara.

Oman Abdurrahman bersedia menjelaskan lebih dini soal fenomena misterius tersebut. Menurut Oman, memang ada bentuk tatanan alam di Gunung Lalakon dan Gunung Saduhurip yang mirip dengan piramida. Namun, hingga kini masih ada dua pendapat ahli tentang hal itu, satu pihak percaya, lainnya tidak.

"Ada orang yang punya hipotesis ada piramida yang dikubur yang disamarkan dengan bentuk gunung. Ada sebagian lagi geolog yang menilai itu bentukan geologi biasa saja," jelas Oman saat dihubungi detikcom.

Oman mengaku bukan sebagai peneliti utama dalam proyek tersebut. Dia menyebut rekannya di ESDM Engkon Kertapati yang terjun langsung ke lapangan dan memiliki hipotesis khusus.

"Tapi dia riset bukan karena ESDM, dia membawa yayasan Turangga Seta. Dari penelitian sementara mereka dari gambar yang saya lihat memang ada bentukan piramida itu ada," jelasnya.

Nah, temuan Engkon ini berdasarkan atas hasil penelitian menggunakan metoda geolistrik. Caranya, dengan menghantarkan arus listrik di monitor permukaan gunung.

"Dari arus listrik itu mencerminkan jenis batuan. Hasilnya, diketahui ada rongga-rongga. Kalau dalam keadaan biasa itu tidak ada," jelasnya.

Turangga Seta, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pelestarian kebudayaan Nusantara mengklaim sebagai pihak pertama yang menemukan fenomena misterius ini. Sebelum para ahli dari LIPI maupun Badang Geologi ESDM bergerak, mereka sudah lebih dulu memposting temuan ini ke situs jejaring sosial Youtube sekitar bulan Desember 2010.

Yang jelas kita sudah masukkan ke Youtube sejak 13 Desember 2010. Kita pasang jauh hari sebelum itu. Kalau untuk Gunung Saduhurip (Garut), kita sudah posting sejak 1 Desember 2010," kata Agung Bimo Sutejo, Ketua Yayasan Turangga Seta, saat berbincang dengan detikcom.

Agung menceritakan kisah penemuan piramida itu hingga ke proses penggaliannya. Awalnya, para anggota Turangga Seta mendapati petunjuk cukup menarik dari Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur. Di prasasti candi tersebut, ada relief yang menggambarkan kedatangan orang Mesir sedang sungkem pada anggota kerajaan.

"Lalu dari prasasti yang kita terima dari beberapa wilayah di situ, ada nama Indrajaya dan Magada," jelasnya.

Lewat petunjuk tersebut, anggota komunitas ini terus melakukan 'investigasi'. Dari sejumlah dokumen yang ditemukan, Indrajaya kemudian diketahui ada di Garut, sementara Magada di kawasan Bandung.

"Di samping itu, kita mendapatkan penjelasan lebih detail lagi dari leluhur. Ternyata, bangunan di negara kita itu tidak seperti yang tertera di sejarah resmi," ungkapnya.

"Kita bahkan mendapatkan informasi koordinat-koordinatnya sampai ke Gunung Lalakon dan Saduhurip Garut," imbuh Agung.

Sayangnya, temuan ini tidak direspons dengan baik oleh pemerintah. Menurut Agung, baik peneliti dari LIPI dan Kementerian ESDM tak mau menindaklanjuti hasil di Gunung Lalakon. Belakangan, peneliti LIPI Danny Hilman yang ikut terjun ke lokasi menyimpulkan terlalu buru-buru jika Gunung Lalakon disebut piramida.

Tentang Yayasan Turangga Seta

Kelompok ini didirikan sekitar 14 tahun yang lalu. Berawal dari rasa kecintaan terhadap sejarah Nusantara, mereka kemudian aktif bergerak mencari fakta-fakta baru tentang fenomena purba di Tanah Air.

Uniknya, yayasan ini bekerja bukan hanya mengandalkan dokumen-dokumen sejarah ilmiah, namun berkat bantuan mistis dari para leluhur. Metode yang diklaim efektif dan efisien guna membuktikan fakta sejarah.

"Kita menanyakan pada seseorang tentang sesuatu yang hidup di zamannya. Misalnya kita, 2.000 tahun lagi ditanya oleh orang yang hidup, ditanya istananya di mana, lalu tulisannya seperti apa," jelas Ketua Yayasan Turangga Seta Agung Bimo Sutejo saat berbincang dengan detikcom.

"Itu yang kita terima melalui gaib berdasarkan informasi leluhur. Walaupun bukan raja, dia pasti mengetahui lokasi di situ dan akan menunjukkannya. Demikian juga kroscek leluhur itu dan kita cari buktinya. Selama ini selalu ketemu kok," tambah Agung.

Lewat cara tersebut, Agung mengklaim selalu berhasil menemukan benda-benda purbakala yang dicari. Mulai dari candi, artefak, hingga piramida di kawasan Bandung dan Garut yang menghebohkan itu.

"Kita juga mendapatkan bukti ada lapangan terbang di Sulawesi, landasan pacu dari batu andesit (batuan yang digunakan pada zaman megalitik) dalam jarak sekian ratus meter. Tidak ada sambungan batunya," kata Agung.

Kelompok ini juga mengaku sudah berhasil menemukan bahwa sejarah Nusantara tidak sekerdil sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah sekolah yang resmi atau literasi sejarah yang ada. Sebaliknya, ada bukti tanda-tanda purbakala 10.000 tahun sebelum Masehi.

Yayasan yang sering berkumpul pada malam Selasa Kliwon ini juga berhasil memetakan dan mendokumentasikan lebih dari 20 jenis aksara purba asli Nusantara yang dapat dipakai untuk membaca prasasti dan rontal-rontal kuno. Cerita mitos tentang keberadaan Kerajaan Hastina Pura, Kerajaan Ngamartalaya, Kerajaan Dahana Pura, Kerajaan Gilingwesi juga berhasil dibuktikan.

"Kami juga berhasil memetakan periodesasi terciptanya bumi sampai ke titik akhir menjadi 3 Jaman Kali Jaman Besar, dan setiap Jaman Kali kami bagi menjadi 7 Jaman Kala Jaman Sedang, dan 1 Jaman Kala kami bagi menjadi 3 Mangsa Kala Jaman Kecil," klaim Agung.

Nah, Agung juga memiliki penjelasan tentang metoda mistis yang digunakan selama ini. Menurut dia, pendekatan gaib ini bisa dilatih, selama tujuannya untuk mengungkap sejarah Nusantara.

"Pada dasarnya kecepatan pandangan mata manusia 50 gambar per detik. Artinya kalau ada sesuatu yang bergerak melebihi itu tidak akan tertangkap mata kita. Nah, kalau berpuasa dia merasakan waktu berjalan lebih lama. Ini namanya denotasi waktu. Kita dalam waktu 1 menit melihat jumlah frame gambar daripada orang normal," paparnya.

"Di Turangga Seta ini dipertahankan, supaya melihat lebih besar dari yang kita lihat. Bertemu dengan leluhur, Prabu Siliwangi misalnya. Kita bertanya keratonnya di mana. Lalu kalau nulis seperti apa. Kalau dia tidak tahu, berati pasti pasti demit. Kita selalu mengkroscek satu per satu," terangnya lagi.

Sayangnya, setiap temuan yayasan ini tidak diakui pemerintah. Berbagai upaya untuk meminta dukungan sudah dilakukan, namun tak mendapat sambutan positif. Agung menduga, hal ini terjadi karena 'metoda' yang mereka gunakan berbeda dengan pendekatan pemerintah.

"LIPI tidak mau ada penemuan berdasarkan menyan. Padahal kita pakai menyan," ucapnya. "Kita sudah berusaha melaporkan ke Arkenas (Badan Arkeologi Nasional), sudah 14 tahun ini, selalu membicarakan ke mereka, tapi nggak ada respons," sambungnya.

Sebenarnya.. metode apapun yang dilakukan sah-sah saja termasuk petunjuk gaib karena dari petunjuk gaib tersebut tinggal di-ikuti saja. Nanti kan terbukti dengan sendirinya apakah petunjuk tersebut benar atau tidak. Jika benar, tentu akan ketemu benda-benda bersejarah dan ini merupakan cara yang paling murah dibanding menggunakan peralatan teknologi yang memakain biaya tidak sedikit.

Sumber : detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar